Karya seni warisan leluhur yang
memudar itu kini kembali dipoles oleh sentuhan para seniman kampung, dan
Alfonsa adalah suksesor dibalik kejayaan itu.
Bukan perkara mudah, melestarikan dan mengembangkan tenun ikat
asli yang mulai tergerus oleh arus modernisasi apalagi serbuan berbagai
produk yang serba instan. Namun dengan kegigihan dan kesabaran seorang
Alfonsa Raga Horeng, setidaknya telah terlihat hasil yang kian positif.
Masyarakat di kampungnya diberdayakan, dan kini, kreasi tenun ikat
binaannya pun semakin dikenal, di dalam negeri hingga ke berbagai
negara.
Sejatinya, semua ini berjalan tanpa
sengaja. Wanita lulusan Fakultas Teknologi Pertanian dari Universitas
Widya Mandala Surabaya pada 1998 ini memilih untuk kembali ke kampung
halamannya, setelah ‘tak betah’ bekerja sebagai “kuli” di Surabaya. Ia
merasa terpanggil untuk memberdayakan para wanita di kampung halamannya.
Pada Oktober 2003, Alfonsa, demikian dia
biasa disapa, akhirnya memrakarsai berdirinya sebuah kelompok tenun
yang diberi nama “Lepo Lorun-Women’s Weaver Cooperative.” Kelompok binaannya yang berlokasi di Desa Nita, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, ini rata-rata beranggotakan ibu rumah tangga.
“Jadi awalnya hanya iseng. Saya
kumpulkan ibu-ibu dan kami bersama membuat sebuah rumah tenun sederhana.
Daripada menganggur, atau hanya kerja itu-itu saja, saya motivasi
mereka untuk berkreativitas, salah satunya ya dengan menenun,” cerita
Alfonsa kepada IndoTrading News.
Berkat dukungan dari keluarga dan
berbagai pihak lain, kegiatan yang semula hanya iseng tersebut pun
akhirnya digiati. Wanita kelahiran Nita, Flores, 1 Agustus 1974 mulai
menenun kembali sebagaimana yang pernah ia pelajari dari orangtuanya
semasa di bangku SMP.
“Dulu saya hanya bisa menenun bagian
tertentu saja. Namun setelah itu kami belajar bersama-sama untuk bisa
menghasilkan tenun ikat khas dan bernilai seni tinggi,” ucap Alfonsa.
Seni (art), sebagaimana ditegaskan Alfonsa menjadi unsur utama dalam menghasilkan ragam produk tenun ikat berkualitas. Pada setiap helai kain tenun
ikat yang dihasilkan, dipadukan dengan berbagai unsur seni bernuansa
etnik dan budaya setempat. Ini pula yang menjadi ciri khas dan nilai
jual Lepo Lorun.
“Semua ini, mereka (ibu-ibu binaan) yang
kerjakan. Mereka inginnya motif dan unsur seperti apa, itu tergantung
kreativitas masing-masing. Saya hanya mengarahkan saja,” tegas Alfonsa.
Alfonsa jualah yang mengajari teknik,
cara meracik pewarna alami dan memberikan pemahaman terkait makna dan
motif yang terkandung pada setiap lembar kain tenun ikat. Diakuinya,
pekerjaan menenun, apalagi dengan menggunakan bahan-bahan alami akan
lebih rumit dengan waktu yang lebih lama. Namun demikian, Alfonsa
bersama mitra dan binaannya tetap menggiati pekerjaan seni yang telah
diwarisi dan menjadi budaya turun-temurun masyarakat Flores tersebut.
Dalam setiap proses yang dilakukan, Alfonsa tak pernah memikirkan nilai
ekonomis dan keuntungan yang bakal mereka dapatkan.
“Saya tegaskan, di sini kami membina dan
membangkitkan kreativitas masyarakat, bukan cari uang atau berbisnis.
Itu hanya akibat atau efek positif, bahwa ada orang lain yang tertarik
dan membeli produk kami,” tegasnya lagi.
Bangkitkan ‘Seni’ yang Memudar
Pekerjaan menenun digiati sebagai seni
yang menghasilkan sebuah produk nan indah. Sayangnya, karya seni warisan
leluhur itu kian jauh ditinggalkan oleh para penerusnya. Merasa
terpanggil, Alfonsa kini giat membagi ilmunya itu kepada siapa saja yang
ia jumpai.
Hingga tahun ini saja, warga binaannya
telah menyebar hingga ke berbagai desa di beberapa kabupaten di Pulau
Flores. Semua mereka diberikan pelatihan, sedari proses awal hingga
bagaimana menghasilkan produk berkualitas dengan unsur seni dan ekonomi
tinggi.
“Termasuk kami suplai juga bahan baku untuk mereka kerjakan. Dan produknya, kami beli atau bantu pasarkan,” ungkapnya.
Tanggapan masyarakat setempat pun kian
membungakan hati Alfonsa. Dalam setiap langkahnya, ia tetap optimis
untuk terus membina lebih banyak lagi masyarakat kampung untuk bisa
berkreasi. Tak terbatas, pada tenun ikat saja.
“Bisa seni music, dance, kegiatan di
bidang fashion, pertanian, peternakan, dan berbagai kegiatan berbasis
kreativitas lainnya. Jadi masyarakat tidak hanya menjalankan pekerjaan
rutinitas mereka saja, tapi juga bisa berkreativitas untuk menghasilkan
sebuah produk yang lain yang juga bisa bernilai ekonomis bagi keluarga
mereka,” terang Alfonsa.
Maka pantaslah, berbagai kegiatan
“socialpreneur” yang dijalankan Alfonsa ini berbuah apresiasi dan
penghargaan dari berbagai pihak. Sebut saja, Kartini Award sebagai Perempuan Inspirasi Indonesia; Indonesia Digital Women Award 2013 (kategori Cultural Artist); dan Australian Leadership Award.
Tak hanya itu, Alfonsa juga pernah
menjadi delegasi Indonesia untuk kegiatan ISEND 2011 yang berlangsung di
La Rochelle-Prancis, serta diundang dalam kegiatan pariwisata di
London. Dan lebih membanggakan lagi ketika alat tenun tradisional yang
dibawanya dari Tanah Air, akhirnya diborong oleh Museum Hornima, sebuah
museum ternama di London.
Perempuan Flores ini juga kerap kali
menjadi pembicara di mengenai tenun ikat Flores di berbagai forum dan
universitas di luar negeri, seperti Amerika dan Eropa. Alfonsa Horeng,
kini adalah Duta Tenun Ikat dari Nusa Flores. [pius klobor]
sumber : http://blog.indotrading.com/alfonsa-horeng-seniman-tenun-ikat-yang-mendunia/
foto : http://blog.indotrading.com , www.ikatflores.com
Semoga bermanfaat dan menginspirasi...
Salam hangat dari Tim OmahTenun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar