Sabtu, 31 Mei 2014

Alfonsa Horeng, Seniman Tenun Ikat yang Mendunia

Karya seni warisan leluhur yang memudar itu kini kembali dipoles oleh sentuhan para seniman kampung, dan Alfonsa adalah suksesor dibalik kejayaan itu.
Bukan perkara mudah, melestarikan dan mengembangkan tenun ikat asli yang mulai tergerus oleh arus modernisasi apalagi serbuan berbagai produk yang serba instan. Namun dengan kegigihan dan kesabaran seorang Alfonsa Raga Horeng, setidaknya telah terlihat hasil yang kian positif. Masyarakat di kampungnya diberdayakan, dan kini, kreasi tenun ikat binaannya pun semakin dikenal, di dalam negeri hingga ke berbagai negara.
Sejatinya, semua ini berjalan tanpa sengaja. Wanita lulusan Fakultas Teknologi Pertanian dari Universitas Widya Mandala Surabaya pada 1998 ini memilih untuk kembali ke kampung halamannya, setelah ‘tak betah’ bekerja sebagai “kuli” di Surabaya. Ia merasa terpanggil untuk memberdayakan para wanita di kampung halamannya.
Pada Oktober 2003, Alfonsa, demikian dia biasa disapa, akhirnya memrakarsai berdirinya sebuah kelompok tenun yang diberi nama “Lepo Lorun-Women’s Weaver Cooperative.” Kelompok binaannya yang berlokasi di Desa Nita, Kabupaten Sikka, Flores, NTT, ini rata-rata beranggotakan ibu rumah tangga.
“Jadi awalnya hanya iseng. Saya kumpulkan ibu-ibu dan kami bersama membuat sebuah rumah tenun sederhana. Daripada menganggur, atau hanya kerja itu-itu saja, saya motivasi mereka untuk berkreativitas, salah satunya ya dengan menenun,” cerita Alfonsa kepada IndoTrading News.
Berkat dukungan dari keluarga dan berbagai pihak lain, kegiatan yang semula hanya iseng tersebut pun akhirnya digiati. Wanita kelahiran Nita, Flores, 1 Agustus 1974 mulai menenun kembali sebagaimana yang pernah ia pelajari dari orangtuanya semasa di bangku SMP.
“Dulu saya hanya bisa menenun bagian tertentu saja. Namun setelah itu kami belajar bersama-sama untuk bisa menghasilkan tenun ikat khas dan bernilai seni tinggi,” ucap Alfonsa.
Seni (art), sebagaimana ditegaskan Alfonsa menjadi unsur utama dalam menghasilkan ragam produk tenun ikat berkualitas. Pada setiap helai kain tenun ikat yang dihasilkan, dipadukan dengan berbagai unsur seni bernuansa etnik dan budaya setempat. Ini pula yang menjadi ciri khas dan nilai jual Lepo Lorun.
“Semua ini, mereka (ibu-ibu binaan) yang kerjakan. Mereka inginnya motif dan unsur seperti apa, itu tergantung kreativitas masing-masing. Saya hanya mengarahkan saja,” tegas Alfonsa.
Alfonsa jualah yang mengajari teknik, cara meracik pewarna alami dan memberikan pemahaman terkait makna dan motif yang terkandung pada setiap lembar kain tenun ikat. Diakuinya, pekerjaan menenun, apalagi dengan menggunakan bahan-bahan alami akan lebih rumit dengan waktu yang lebih lama. Namun demikian, Alfonsa bersama mitra dan binaannya tetap menggiati pekerjaan seni yang telah diwarisi dan menjadi budaya turun-temurun masyarakat Flores tersebut. Dalam setiap proses yang dilakukan, Alfonsa tak pernah memikirkan nilai ekonomis dan keuntungan yang bakal mereka dapatkan.
“Saya tegaskan, di sini kami membina dan membangkitkan kreativitas masyarakat, bukan cari uang atau berbisnis. Itu hanya akibat atau efek positif, bahwa ada orang lain yang tertarik dan membeli produk kami,” tegasnya lagi.
Bangkitkan ‘Seni’ yang Memudar
Pekerjaan menenun digiati sebagai seni yang menghasilkan sebuah produk nan indah. Sayangnya, karya seni warisan leluhur itu kian jauh ditinggalkan oleh para penerusnya. Merasa terpanggil, Alfonsa kini giat membagi ilmunya itu kepada siapa saja yang ia jumpai.
Hingga tahun ini saja, warga binaannya telah menyebar hingga ke berbagai desa di beberapa kabupaten di Pulau Flores. Semua mereka diberikan pelatihan, sedari proses awal hingga bagaimana menghasilkan produk berkualitas dengan unsur seni dan ekonomi tinggi.
“Termasuk kami suplai juga bahan baku untuk mereka kerjakan. Dan produknya, kami beli atau bantu pasarkan,” ungkapnya.
Tanggapan masyarakat setempat pun kian membungakan hati Alfonsa. Dalam setiap langkahnya, ia tetap optimis untuk terus membina lebih banyak lagi masyarakat kampung untuk bisa berkreasi. Tak terbatas, pada tenun ikat saja.
“Bisa seni music, dance, kegiatan di bidang fashion, pertanian, peternakan, dan berbagai kegiatan berbasis kreativitas lainnya. Jadi masyarakat tidak hanya menjalankan pekerjaan rutinitas mereka saja, tapi juga bisa berkreativitas untuk menghasilkan sebuah produk yang lain yang juga bisa bernilai ekonomis bagi keluarga mereka,” terang Alfonsa.
Maka pantaslah, berbagai kegiatan “socialpreneur” yang dijalankan Alfonsa ini berbuah apresiasi dan penghargaan dari berbagai pihak. Sebut saja, Kartini Award sebagai Perempuan Inspirasi Indonesia; Indonesia Digital Women Award 2013 (kategori Cultural Artist); dan Australian Leadership Award.
Tak hanya itu, Alfonsa juga pernah menjadi delegasi Indonesia untuk kegiatan ISEND 2011 yang berlangsung di La Rochelle-Prancis, serta diundang dalam kegiatan pariwisata di London. Dan lebih membanggakan lagi ketika alat tenun tradisional yang dibawanya dari Tanah Air, akhirnya diborong oleh Museum Hornima, sebuah museum ternama di London.
Perempuan Flores ini juga kerap kali menjadi pembicara di mengenai tenun ikat Flores di berbagai forum dan universitas di luar negeri, seperti Amerika dan Eropa. Alfonsa Horeng, kini adalah Duta Tenun Ikat dari Nusa Flores. [pius klobor]

sumber : http://blog.indotrading.com/alfonsa-horeng-seniman-tenun-ikat-yang-mendunia/
foto :  http://blog.indotrading.com , www.ikatflores.com

Semoga bermanfaat dan menginspirasi...
Salam hangat dari Tim OmahTenun

Tidak ada komentar:

Posting Komentar